Selasa, 22 Maret 2016

Memahami Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh Madrasah Aliyah Kelas XII Semester Genap



BAB  II
MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH


1. Pengertian Kaidah Ushul Fiqih
1) Pengertian fiqih atau ilmu fiqih sangat berkaitan dengan syara’ karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelumnya memberikan penjelasan tentang arti fiqh, terlebih dahulu perlu dijelaskan arti dan hakikat syari’ah.
2) Fiqh adalah ilmu tentang hukum Allah yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat mamaliyah furu’iyah, pengetahuan tentang hukum Allah itu berdasarkan dalil tafsili, dan fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan ustidlal seorang mujtahid/fiqh.
3) Kata “Ushul Fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”.
4) Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi berarti “paham yang mendalam”.
5) Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana
disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat analiah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”.
6) Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.
7) Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya.” Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud definitif dari kata shal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”. Dengan demikian “ushul fiqh” secara istilah teknik hukum berarti: “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci’, atau dalam artian sederhana adalah: “Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan, “Mengerjakan shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum syara’”. Tidak pernah tersebut dalam al-Qur’an maupun hadits bahwa shalat itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah perintah mengerjakan shalat yang berbunyi:
Kerjakanlah shalat
(1)   Ayat al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut “dalil syara’”.
Yang disebut “dalil syara’” itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.
(2)   Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seseorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.

2. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dall syara’ yan terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah-kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

3. Jelaskan pengertian kaidah amar dan nahi ?

Pengertian kaidah amar
Amar tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Kata amar secara etimologi artinya suruhan, perintah dan perbuatan.
Kata amar secara terminologi artinya tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan.
Kata amar menurut Jumhur ulama’ Ushul, definisi amr adalah lafadz yang menunjukkan

Hakikat bentuk amar
a)  Amr menunjukkan kepada wajib
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Yang asal pada perintah untuk wajib”.
Ini menunjukkan menurut akal dan naqli. Adapun yang menurut akal sebagaimana yang diketahui oleh para ahli bahasa, orang-orang yang tidak mematuhi kepada perintah dinamakan orang yang ingkar, sedangkan menurut aqli seperti firman Allah ” (Q.S. An-Nur: 63) :
63. janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

Contoh amr yang menunjukkan ijab (wajib), seperti:
وَأَقِيْمُواالصَّلَوةَ وَأَتُواالزَّكَوةَ
“Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat”

b)  Amr yang menunjukkan kepada sunat
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لِلنَّدْبِ
“Yang asal pada perintah itu sunat”.
Sabda Rasulullah SAW:
لَوْلَا اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى لَاَمْرَتَهُمْ بِالشِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Jikalau tidaklah memberatkan terhadap umatku, sungguh aku perintahkan kepada mereka menggosok gigi setiap akan melaksanakan sembahyang” (H.R. Bukhari).

c.) Amr tidak menunjukkan untuk berulang-ulang
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِلاَيَقْتَضِى التِّكْرَارِ
Asal pada perintah tidak menghendaki berulang-ulang”
Maksudnya, bahwasannya amar tidak menghendaki kepada berulang-ulang, hanya menghendaki hasilnya atau mengerjakan satu kali. Seperti firman Allah SWT (Q.S. Al-Baqarah:196) :
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! .............. ÇÊÒÏÈ
 196. “Dan sempurnakanlah olehmu Haji serta Umrah itu karena Allah

d.) Amar tidak menunjukkan untuk bersegera
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لاَيَقْتَضِى اْلفَوْرَ
Asal pada amar tidak menghendaki bersegera”

Contohnya, seperti pada firman Allah SWT:
فَصِيَامُ ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ
“Puasalah kamu tiga hari”

e.)  Amar dengan wasilah-wasilahnya
اَلْاَمْرُ بِالشَّىْءِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Menyuruh melakukan sesuatu berarti menyuruh segenap jalan-jalannya”
Contohnya: bila seseorang disuruh mengerjakan sembahyang berarti disuruh pula dengan segala syarat-syaratnya sembahyang, seperti wudhu.

f.)  Amar yang menunjukkan pada larangan
اَلْاَمْرُبِالشَّىْءِ نَهْيُ عَنْ ضِدِّهِ
“Menyuruh dengan sesuatu melarang dari lawannya”
Contohnya: bila seseorang disuruh mengerjakan suatu perbuatan, mesti dia meninggalkan segala lawannya, seperti disuruh beriman, berarti dia tidak boleh kafir.

g.)  Amar menurut masanya
اذَا فُعِلَ اْلمَأْمُوْرُبِهِ عَلَى وَجْهِهِ يَخْرُجُ اْلمَأْمُوْرُعَنْ عَهْدَةِ اْلاَمْرِ
“Apabila dikerjakan yang diperintahkan itu menurut caranya, terlepas dia dari masa perintah itu”
Contohnya: seorang musafir yang tidak memperoleh air hendaknya diamengerjakan sembahyang dengan bertayammum sebagai ganti dari wudhu. (Q.S. An-Nisa’:43)
43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

[301] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
           
h.) Qadha dengan perintah baru
اَلْقَضَاءُ بِاَمْرٍجَدِيْدٍ
Qadha dengan perintah baru”
Contohnya: Seorang wanita dalam keadaan haidh boleh meninggalkan puasa dibulan Ramadhan, tetapi wajib mengqadhanya (membayarkan) pada bulan berikutnya.

Pengertian nahi
Kata nahi secara etimologi nahi artinya larangan, cegahan.
Kata nahi secara terminologi artinya tuntutan meninggalkan dari atasan kepada bawahan.

Hakikat Bentuk Nahi
1)  Nahi menunjukkan kepada haram
اَلْاَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
“Asal pada larangan untuk haram”
Contohnya: seperti firman Allah SWT:
وَلَاتَقْرَبُوا الزِّنَى
“Dan janganlah kamu dekati zina”.

2)  Nahi menunjukkan larangan sesuatu, suruhan bagi bawahannya
اَلنَّهْيُ عَنِ الشَّىْءِ اَمْرٌ بِضِدِّهِ
“Dilarang dari sesuatu, disuruh dengan lawannya”
Contohnya: dilarang meninggalkan sembahyang, tentu disuruh mengerjakannya.

3)  Nahi menunjukkan larangan yang mutlak
اَلنَّهْيُ اْلُمطْلَقُ يَقْتَضِى الدَّوَامَ فِى جَمِيْعِ اْلاَزْمِنَةِ
“Larangan yang mutlak menghendaki berbekalan dalam sepanjang masa”
Contohnya: perkataan seorang bapak kepada anaknya ‘jangan kamu dekati singa’, maka anak itu disuruh menjauhi binatang tersebut selama-lamanya karena untuk melepaskan diri dari kebinasaan.

4)  Nahi menunjukkan larangan dalam beribadah
اَلنَّهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ اْلُمنْهِيِّ عَنْهُ فِى عِبَادَاتِ
“Larangan menunjukkan kebiasaan yang dilarang dalam beribadah”
Contohnya: wanita yang sedang haidh dilarang mengerjakan sembahyang dan puasa, berarti dituntut untuk mengerjakannya apabila telah suci.

5)  Nahi menunjukkan larangan dalam mu’amalah
اَلنَّهْىُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ اْلُمنْهِيِّ عَنْهُ فِى اْلعُقُوْدِ
“Larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber’akad”
Contohnya: dilarang menjual anak hewan yang masih di dalam kandungan ibunya, berarti akad jual beli tidak sah (batal), karena yang diperjualbelikan itu belum jelas dan belum memenuhi rukun jual beli, antara lain: adanya dua orang yang berakad (penjual & pembeli), sighat (lafadz) jual beli dan ada barang yang diperjual belikan.
Rasulullah SAW bersabda:
نَهَى النَّبِيُّ ص.م. عَنْ بَيْعِ اْلَملَاقِيْحِ
“Melarang Nabi SAW memperjualbelikan anak dalam kandungan ibunya”.

Adakalanya larangan itu tidak membatalkan jula beli, seperti jual beli waktu panggilan shalat Jum’at, karena melalaikan untuk besegera mengerjakan shalat Jum’at. Firman Allah SWT:
اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ اْلجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا اْلبَيْعَ
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat Jum’at pada hari Jum’at, hendaklah bersegera mengingat Allah (pergi shalat Jum’at) dan tinggalkan jual beli”.

4. Jelaskan pengertian kaidah ‘am dan khash ?
pengertian kaidah ‘am
Kata ‘Am ialah lafadz yang mengandung arti umum yang menunjukkan banyak yang tak terbatas yang dapat meliputi (mengenai) semua yang pantas termasuk dalam arti lafadz itu, sekaligus tercakup di dalamnya, dengan tak ada yang ketinggalan.

Pembagian Lafadz ‘Am
Lafadz ‘Am dapat dibagi menjadi tiga macam, antara lain:
Lafadz umum yang tidak mungkin ditakhsiskan, seperti dalam firman Allah surat Hud ayat 6:
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,,,,”
Dan firman Allah surat Al-Anbiya ayat 30:
30. dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?

Kedua ayat diatas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap makhluk karena itu dilalahnya qath’i yang tidak menerima takhsis.

Lafadz umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah surat Al-Imron ayat 97:  
97. padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Lafadz “manusia” dalam ayat diatas adalah lafadz umum yang dimaksudkan adalah manusia yang mukallaf saja karena dengan perantara akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafadz seperti anak kecil dan orang gila.
Lafadz umum yang khusus seperti lafadz umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukkan ditakhsis seperti dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’

Macam-Macam  ‘Am
Umum Syumuliy yaitu lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi, seperti dalam firman Allah swt. (An-Nisa’: 1) :

1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Dalam ayat diatas seluruh manusia dituntut untuk bertaqwa (memelihara diri dari azab Allah) tanpa terkecuali.

Umum Badaliy yaitu suatu lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku untuk sebagian pribadi, seperti firman Allah swt. (QS. Al-Baqarah : 183):
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Dalam ayat ini terdapat kaliamat umum, tetapi umum disini tidak dipergunakan untuk seluruh manusia, melainkan hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Allah (beriman) saja.

pengertian kaidah khash
1)   Lafal khash ialah lafal yang dilalahnya berlaku bagi seseorang yang namanya disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang disebutkan jenisnya. Jadi lafal khash tidak mencakup semua namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
2)   Lafal khash kadang  berbentuk mutlak yakni tidak dikaitkan dengan sesuatu, tetapi terkadang dikaitkan dengan sesuatu yang dinamakan muqoyyad, dan terkadang dalam bentuk amr, dan terkadang dalam bentuk nahyi. Jadi lafal khas ada 4 bentuk yaitu mutlak, muqayyad, amar dan nahyi.
3)      Lafal khas yang ditemui dalam nash yang wajib diartikan sesuai dengan arti hakiki selama tidak ditemukan dalil yang memalingkan dari arti hakiki ke arti lain.    
Contohnya hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang menuduh berbuat zina sebanyak delapan puluh kali dera, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Namun bila diteruskan dalil yang dapat memalingkan artinya ke arti lain dilaksanakan sesuai dengan dilalahnya dari bukti itu seperti dalam hadist yang berbicara setiap empat puluh ekor kambing dikeluarkan zakatnya seekor, setiap orang mengeluarkan zakat fitrahnya satu sha’ gandum atau kurma. Karena zakat untuk kepentingan fakir miskin, yang pada satu waktu barang lebih bermanfaat dari uang dan pada satu waktu uang lebih bermanfaat dari barang. Jadi berarti lafal yang mutlak dilaksanakan sesuai dengan artinya dan kalau dikaitkan sesuai pula dengan kaitnya.

5. Jelaskan pengertian kaidah mutlaq muqayyad ?
pengertian kaidah mutlaq
1)     Kata mutlaq secara bahasa, berarti “tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu”.
Kata mutlaq secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
2)   Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Dengan kata lain, lafal mutlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu.
Misalnya, rajulun (seorang laki-laki), rijalun (banyak laki-laki), kitabun (buku).
Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadalah, 58:3:
1.  orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Pengertian kaidah muqayyad
Kata muqayyad secara bahasa berarti “terikat”.
Kata muqayyad  secara istilah, adalah “lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu”.
Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (seorang laki-laki asal Irak), hamba sahaya yang beriman.
Contoh: firman Allah surat al-Nisa’, 4:92:
92.Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman.
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad,
bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadalah, 58:3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin.
Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas.

6. Jelaskan pengertian manthuq mafhum?
pengertian manthuq mafhum
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat),
Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat).

Menurut kitab mabadiulawwaliyah,
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan,
Mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. 
Seperti firman Allah SWT. (Q.S Al-Isra’ ayat 23)       
ﻓﻼﺗﻘﻞﻟﻬﻤﺎﺍﻑﻭﻻﺗﻨﻬﺮﻫﻤﺎ
23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850].

[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.

7. Jelaskan pengertian mujmal mubayyan ?
Pengertian mujmal
1)   Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع) mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul. Pendapat yang lain mengatakan bahwa Mujmal Bahasa berasal dari kata ( الجُمْلُ ) yang artinya rancau atau bercampur aduk atau berarti global atau tidak terperinci.
2)   Secara istilah :
ما يتوقف فهم المراد منه على غيره، إما في تعيينه أو بيان صفته أو مقداره
“Apa yang dimaksud darinya ditawaqqufkan terhadap yang selainnya, baik dalam ta’yinnya (penentuannya) atau penjelasan sifatnya atau ukurannya.”
المُجْمَلُ هُوَ اَللَّفْظُ الَّذِى لاَيُفْهَمُ المَعْنَى المُرَادُ مِنْهُ اِلاَ بِالاِسْتِفْسَارِ مِنَ الجُمَلِ
3)   Mujmal adalah lafadz yang belum jelas bias dipaham makna yang dikehendaki kecuali jika ada keterangan lain yang menentukannya. Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam ta’yinnya : Firman Allah ta’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Al-Baqoroh : 228)
Quru’ (القرء) adalah lafadz yang musytarok (memiliki beberapa makna,) antara haidh dan suci, maka menta’yin salah satunya membutuhkan dalil.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan sifatnya: Firman Alloh ta’ala :
وَأَقِيمُوا الصَّلاة
“Dan dirikanlah sholat” (Al-Baqoroh : 43)
Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui, membutuhkan penjelasan.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya : Firman Allah ta’ala :
وَآَتُوا الزَّكَاةَ
“Dan tunaikanlah zakat” (Al-Baqoroh : 43)
Ukuran zakat yang wajib tidak diketahui maka membutuhkan penjelasan.

Pengertian mubayyan
1)   Mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yaitu :
المُبَيَّنُ هُوَ إِخْرَاجُ الشَّيْئِ مِنْ حَالِ اِشْكَالِهِ وَعَدَمِ فَهْمِ مَعْنَاهُ اِلَى التَّجَلَّى وَهُوَ حَالٌ اِيْضَاحِ مَعْنَاهُ وَفَهْمِهِ بِنَصِّ يَدُلُّ عَلَيْهِ
“mubayyan adalah mengeluarkan suatu lafadz dari kerancauan dan tidak adanya arti yang dapat dipahami dengan menggunakan dalil-dalil yang bias menunjukkan pada arti yang dikehendaki.”
Contoh ayat tentang “iddah wanita yang ditalak suaminya :
وَالمُطْلَقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
Dalam ayat ini ditemukan lafadz Quru’ yang artinya belum jelas, sebab memiliki dua arti yaitu Haid (Datang Bulan), dan Tuhrun (Suci). Oleh karena itu harus ada penjelas.

8. Jelaskan pengertian zahir dan ta’wil ?
Pengertian zahir
1)     Kata Zhahir secara etimologi berarti jelas.
Kata Zhahir secara terminologinya yaitu setiap lafadz atau kalam yang memiliki makna eksplisit terhadap obyek pembaca melalui konotasi bahasanya tanpa harus menukilkan makna lafadz terhadap hal-hal skunder diluar maksud lafadz tersebut, baik lafdz tersebut mengandung makna yang luas ataupun tidak.
2)   Al-Bazdawi memberikan definisi sebagi berikut :
اسم لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته 
Sesuatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri.
3)   Sedangkan menurut Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه السامع بنفس من غير تامل
Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengar itu sendiri tanpa harus difikirkan lebih dahulu.
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri. Akan tetapi lafadz itu tetap mempunyai kemungkinan lain.

Pengertian ta’wil
1)   Kata ta’wil secara etimologi, ta'wil berasal dari kata آلَ  يَؤُوْلُ  أَوْلٌ (الأَوْلُ) yang artinya الرجوع (kembali)  dan العاقبة (akibat atau pahala),  seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59  dan hadith من صام الدهر فلا صام ولا آل (Barang siapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada balasannya). 
2)   Sedangkan isim makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل yang berarti المرجع tempat kembali, seperti dalam QS. Al-Kahfi: 58. Ada juga yang mengatakan bahwa kata " أَوَّلَ " yang berarti   الرجوع   إليه و يعتمد عليه (kembali dan bersandar kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut, seperti dalam firman Allah QS. At-Taubah:108 dan Al-An'am: 163. Kata أَوَّلَ digunakan karena sesudahnya kembali dan bersandar kepadanya.
3)   Kata ta’wil terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.
4)   Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".
5)   Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah mengatakan bahwa, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya (makna rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah). Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta'wil. Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta'wil yang shahih, sedangkan tanpa dalil adalah ta'wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.

9. Jelaskan pengertian kaidah nasikh dan mansukh ?
pengertian kaidah nasikh dan mansukh

Nasikh-Mansukh berasal dari kata nasakh.
1)   Kata Nasikh secara etimologi, berarti “menghilangkan, melenyapkan, atau menghapus, dapat juga berarti memindahkan (memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain).”
2)   Kata nasakh dapat juga berarti “mengganti atau menukar, membatalkan dan mengubah, dapat juga berarti pengalihan.”

3)   Jadi sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang dihapus dinamakan mansukh. Singkatnya dalam Al Qur’an dan Tafsirnya disebutkan nasikh ialah ayat yang menasakh dan mansukh ialah ayat yang dinasakh. Dalam Al Qur’an, kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali dengan berbagai bentuknya.[9] Yaitu dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat 106, Surah A1-A’raf ayat 154, Surah A1-Hajj ayat 52, dan Surah Al Jatsiah ayat 29.

4)   Kata nasakh secara terminology menurut para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin) nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir. Sedang mansukh menurut Syaikh Manna’ adalah” hukum yang diangkat atau yang dihapuskan” Dalam buku Al Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama RI disebutkan bahwa” Nasakh dalam arti istilah adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus.

Adapun syarat-syarat nasakh adalah :
a.   Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b.   Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh
c.   Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat(dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Yang demikian tidak dinamakan nasakh.

Tunjukkan contoh penggunaan kaidah amar dan nahi ?
Contoh penggunaan kaidah amar dan nahi
Para Ulama Ushul menetapkan sejumlah kaidah yang berhubungan dengan amr:
1)   Suatu perintah selalu menunjukkan pada hukum wajib kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Pemahaman isi disepakati para ahli bahasa. Misalnya perintah yang menunjukkan untuk wajib adalah perintah melaksanakan shalat lima waktu yang terdapat dalam surat al-isra’, 17:78:
Dirikanlah shalat karena tergelincirnya matahari.
Contoh perintah yang disertai indikasi yang memalingkan dari hukum wajib kepada hukum lain, yaitu sunat adalah firman Allah surat al-Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman yang melakukan transaksi secara utang-piutang untuk waktu-waktu yang ditentukan hendaklah mereka mancatatnya. Perintah ini semula mengandung hukum wajib, tetapi karena ada indikasi lain yang memalingkannya, maka hukum wajib berubah menjadi sunat. Indikasi itu terdapat dalam pada surat al-baqarah 2:228. Dalam ayat ini dijelaskan apabila orang yang berutang –piutang saling mempercayai, tidak perlu mencatat utang-piutang tersebut. Dengan demikian , perintah mencatat hutang piutang hukumnya sunat, bukan wajib.

Contoh penggunaan kaidah amar dan nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudhari Bik Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
1)   Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 :
    “Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
2)   Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf :
    “Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.

11. Jelaskan pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah ‘am dan khash?

Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah ‘am
‘Am ialah lafadz yang mengandung arti umum yang menunjukkan banyak yang tak terbatas yang dapat meliputi (mengenai) semua yang pantas termasuk dalam arti lafadz itu, sekaligus tercakup di dalamnya, dengan tak ada yang ketinggalan

Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah khash
Lafal khash ialah lafal yang dilalahnya berlaku bagi seseorang yang namanya disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang disebutkan jenisnya. Jadi lafal khash tidak mencakup semua namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.

Tunjukkan contoh penggunaan kaidah muthlaq muqayyad dalam ibadah ?
contoh penggunaan kaidah muthlaq dalam ibadah
Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadalah, 58:3:
3.   orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekannya budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka merdekakanlah seorang budak” Mengingat lafal raqabah (budak) merupakan lafal mutlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah dalam konteks positif.

contoh penggunaan kaidah muqayyad dalam ibadah
Contoh: firman Allah surat al-Nisa’, 4:92:
92. ..... dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman ..........

Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman.

Jelaskan pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah manthuq mafhum?
Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah manthuq mafhum
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat),
Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat).
Menurut kitab mabadiulawwaliyah,    
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan,
Mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.

Jelaskan pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah mujmal mubayyan?
Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah mujmal
Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع) mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul. Pendapat yang lain mengatakan bahwa Mujmal Bahasa berasal dari kata ( الجُمْلُ ) yang artinya rancau atau bercampur aduk atau berarti global atau tidak terperinci.
Secara istilah :
ما يتوقف فهم المراد منه على غيره، إما في تعيينه أو بيان صفته أو مقداره
“Apa yang dimaksud darinya ditawaqqufkan terhadap yang selainnya, baik dalam ta’yinnya (penentuannya) atau penjelasan sifatnya atau ukurannya.”
المُجْمَلُ هُوَ اَللَّفْظُ الَّذِى لاَيُفْهَمُ المَعْنَى المُرَادُ مِنْهُ اِلاَ بِالاِسْتِفْسَارِ مِنَ الجُمَلِ
Mujmal adalah lafadz yang belum jelas bias dipaham makna yang dikehendaki kecuali jika ada keterangan lain yang menentukannya. Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam ta’yinnya : Firman Allah ta’ala :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Al-Baqoroh : 228)
 Quru’ (القرء) adalah lafadz yang musytarok (memiliki beberapa makna,) antara haidh dan suci, maka menta’yin salah satunya membutuhkan dalil.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan sifatnya: Firman Alloh ta’ala :
وَأَقِيمُوا الصَّلاة
“Dan dirikanlah sholat” (Al-Baqoroh : 43)
Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui, membutuhkan penjelasan.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya : Firman Allah ta’ala :
وَآَتُوا الزَّكَاةَ
“Dan tunaikanlah zakat” (Al-Baqoroh : 43)
Ukuran zakat yang wajib tidak diketahui maka membutuhkan penjelasan.

Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah mubayyan
Mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yaitu :
المُبَيَّنُ هُوَ إِخْرَاجُ الشَّيْئِ مِنْ حَالِ اِشْكَالِهِ وَعَدَمِ فَهْمِ مَعْنَاهُ اِلَى التَّجَلَّى وَهُوَ حَالٌ اِيْضَاحِ مَعْنَاهُ وَفَهْمِهِ بِنَصِّ يَدُلُّ عَلَيْهِ
“mubayyan adalah mengeluarkan suatu lafadz dari kerancauan dan tidak adanya arti yang dapat dipahami dengan menggunakan dalil-dalil yang bias menunjukkan pada arti yang dikehendaki.”
Contoh ayat tentang “iddah wanita yang ditalak suaminya :
وَالمُطْلَقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
Dalam ayat ini ditemukan lafadz Quru’ yang artinya belum jelas, sebab memiliki dua arti yaitu Haid (Datang Bulan), dan Tuhrun (Suci). Oleh karena itu harus ada penjelas.

12. Tunjukkan contoh penggunaan kaidah zahir dan ta’wil ?
Contoh penggunaan kaidah zahir
Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa :
Zhahir itu adalah Suatu lafadz yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafaz itu sendiri tanpa menunggu qorinah yang ada diluar lafadz itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinaskhkan.
Contoh yang dapat dikemukakan ( Q.S. al-Baqarah (2) : 275 ) :
275. .......... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. .........

Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafadz itu sendiri tanpa memerlukan qorinah lain. Masing-masing dari lafadz bai’ dan riba merupakan lafadz ‘am yang mempunyai kemungkinan di takhsis.

Contoh penggunaan kaidah ta’wil
Kata ta'wil dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 17 kali. Dari penggunaan kata ta'wil dalam ayat-ayat tersebut, dapat klasifikasikan menjadi tiga macam pengertian;

Ta'wil li al-qaul (ta'wil perkataan)
Berarti makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari insya' adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua pengertian;
1)   Ta'wil Amr yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadith riwayat Aisyah Radhiyallah 'anha seperti yang telah disebutkan di atas.
2) Ta'wil Ikhbar yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, seperti firman Allah QS. Al-A'raf : 53.
53. Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya[547] sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan Kami membawa yang hak, Maka Adakah bagi Kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi Kami, atau dapatkah Kami dikembalikan (ke dunia) sehingga Kami dapat beramal yang lain dari yang pernah Kami amalkan?". sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.

Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil (terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.

Ta'wil li al-fi'l (ta'wil perbuatan)
Seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82
82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi)
Ta'wil li ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadith (ta'wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub kepada putranya Nabi Yusuf 'Alaihimassalam dalam QS. Yusuf : 6
6. dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu[743] sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

dan sebaliknya pada ayat: 100.
100. dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud[763] kepada Yusuf. dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku Inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. dan Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaKu, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

13. Jelaskan pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah nasikh dan mansukh ?

pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah nasikh dan mansukh

1)     Nasikh-Mansukh berasal dari kata nasakh.
2)     Kata Nasikh secara etimologi, berarti “menghilangkan, melenyapkan, atau menghapus, dapat juga berarti memindahkan (memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain).”
3)     Kata nasakh dapat juga berarti “mengganti atau menukar, membatalkan dan mengubah, dapat juga berarti pengalihan.”
Jadi sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang dihapus dinamakan mansukh. Singkatnya dalam Al Qur’an dan Tafsirnya disebutkan nasikh ialah ayat yang menasakh dan mansukh ialah ayat yang dinasakh. Dalam Al Qur’an, kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali dengan berbagai bentuknya.[9] Yaitu dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat 106, Surah A1-A’raf ayat 154, Surah A1-Hajj ayat 52, dan Surah Al Jatsiah ayat 29.
4)     Kata nasakh secara terminology menurut para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin) nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir. Sedang mansukh menurut Syaikh Manna’ adalah” hukum yang diangkat atau yang dihapuskan” Dalam buku Al Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama RI disebutkan bahwa” Nasakh dalam arti istilah adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus.

Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh sunnah dengan sunnah, nasakh sunnah dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, dan nasakh Al Qur’an dengan sunnah.berikut penjelasannya seperti terdapat dalam Al Qur’an dan tafsirnya.

Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi boleh. Hadisnya seperti yang diriwayatkan At Tirmidzi” Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah”.(Riwayat At Tirmidzi). Dalam hal nasakh sunnah dengan sunnah ini Manna’Khalil Al Qattan mengkategorikan ke dalam empat bentuk, yaitu(1). nasakh mutawatir dengan mutawatir.(2) nasakh ahad dengan ahad.(3) ahad dengan mutawatir.(4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk keempat terjadi silang pendapat.  Namun jumhur ulama tidak membolehkan.

Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh dengan dalil Al Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al Qur’an surah Al Baqarah/2 ayat 144:
144. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
         
Contoh lain tentang kewajiban berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 Muharram menjadi tidak wajib, tetapi sunnah saja setelah turun ayat kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan, yaitu turunnya surah Al Baqarah/2 ayat 185:
“Bulan Ramadhan adalah(bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an, sebagai petujuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.”(Al Baqarah/2:185)
Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Syafi’i sebagaimana dikutip Syaikh Manna’ dari Al Itqan, menurut Syafi’I; apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau antara Kitab dengan  sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.

Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an, berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut para ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al Qur’an ini, bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an dapat diterima akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi.

Hal tersebut termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui. Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat al Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Fussilat/41 ayat 42. Yang artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.

Karena tidak ada satu ayat pun yang batil baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al Qur’an yang dinasakh maupun  mansukh. Ayat-ayat Al Qur’an memang telah menasakh ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Pendapat demikian misalnya dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani, seorang mufassir yang menulis kitab Jami’ut Ta’wil. Beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian bahwa sesama Al Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.

Nasakh Al Qur’an dengan sunnah
Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al Qur’an dinasakh dengan dalil sunnah.
Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
1)     Nasakh Al Qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Al Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang maznun(diduga)
2)   Nasakh Al Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-4. Artinya”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan(kepadanya)”. Serta Surah An Nahl ayat 44. Artinya “Dan kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar