BAB II
MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH
1. Pengertian
Kaidah Ushul Fiqih
1) Pengertian fiqih atau ilmu fiqih sangat
berkaitan dengan syara’ karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis
dari syariah. Karenanya, sebelumnya memberikan penjelasan tentang arti fiqh,
terlebih dahulu perlu dijelaskan arti dan hakikat syari’ah.
2) Fiqh adalah ilmu tentang hukum Allah yang
dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat mamaliyah furu’iyah, pengetahuan
tentang hukum Allah itu berdasarkan dalil tafsili, dan fiqh itu digali dan
ditemukan melalui penalaran dan ustidlal seorang mujtahid/fiqh.
3) Kata “Ushul Fiqh” adalah kata ganda yang
terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti
“paham yang mendalam”.
4) Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya
tidak jauh berbeda dari artian etimologi berarti “paham yang mendalam”.
5) Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya
tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana
disebutkan di atas yaitu: “Ilmu
tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat analiah yang digali dan dirumuskan
dari dalil-dalil tafsili”.
6) Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat
dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum
syara’ yang bersifat ‘amali dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.
7) Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata
“ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang
lainnya.” Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud definitif dari kata shal
tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan
“fiqh”. Dengan demikian “ushul fiqh” secara istilah teknik hukum berarti: “Ilmu
tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari
dalilnya yang terinci’, atau dalam artian sederhana adalah: “Kaidah-kaidah yang
menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh
ditemukan ungkapan, “Mengerjakan shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan
shalat itu disebut “hukum syara’”. Tidak pernah tersebut dalam al-Qur’an maupun
hadits bahwa shalat itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah
perintah mengerjakan shalat yang berbunyi:
Kerjakanlah shalat
(1)
Ayat al-Qur’an
yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut “dalil syara’”.
Yang disebut “dalil syara’” itu ada
aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan
wajib”. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu
Ushul Fiqh”.
(2)
Ushul fiqh
adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang
harus diikuti seseorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum
syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali
dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.
2. Tujuan dan
Manfaat Ushul Fiqh
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu
ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dall
syara’ yan terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat
amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah-kaidah ushul serta
bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang terkandung
di dalamnya.
3. Jelaskan
pengertian kaidah amar dan nahi ?
Pengertian kaidah amar
Amar tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu
pekerjaan.
Kata amar secara etimologi artinya suruhan, perintah dan perbuatan.
Kata amar secara terminologi artinya tuntutan memperbuat dari atasan kepada
bawahan.
Kata amar menurut Jumhur ulama’ Ushul, definisi amr adalah
lafadz yang menunjukkan
Hakikat bentuk amar
a) Amr menunjukkan kepada
wajib
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Yang asal pada perintah untuk wajib”.
Ini menunjukkan menurut akal dan naqli. Adapun yang menurut akal
sebagaimana yang diketahui oleh para ahli bahasa, orang-orang yang tidak
mematuhi kepada perintah dinamakan orang yang ingkar, sedangkan menurut aqli
seperti firman Allah ” (Q.S. An-Nur: 63) :
63. janganlah
kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu
kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang
yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada
kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
Contoh amr yang menunjukkan ijab (wajib), seperti:
وَأَقِيْمُواالصَّلَوةَ وَأَتُواالزَّكَوةَ
“Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat”
b) Amr
yang menunjukkan kepada sunat
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لِلنَّدْبِ
“Yang asal pada perintah itu sunat”.
Sabda Rasulullah SAW:
لَوْلَا اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى لَاَمْرَتَهُمْ بِالشِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Jikalau tidaklah memberatkan terhadap umatku, sungguh aku perintahkan
kepada mereka menggosok gigi setiap akan melaksanakan sembahyang” (H.R.
Bukhari).
c.) Amr tidak
menunjukkan untuk berulang-ulang
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِلاَيَقْتَضِى التِّكْرَارِ
“Asal pada perintah tidak menghendaki berulang-ulang”
Maksudnya, bahwasannya amar tidak menghendaki kepada berulang-ulang, hanya
menghendaki hasilnya atau mengerjakan satu kali. Seperti firman Allah SWT (Q.S.
Al-Baqarah:196) :
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! .............. ÇÊÒÏÈ
196. “Dan sempurnakanlah olehmu Haji
serta Umrah itu karena Allah
d.) Amar tidak
menunjukkan untuk bersegera
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لاَيَقْتَضِى اْلفَوْرَ
“Asal pada amar tidak menghendaki bersegera”
Contohnya, seperti pada firman Allah SWT:
فَصِيَامُ ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ
“Puasalah kamu tiga hari”
e.) Amar dengan wasilah-wasilahnya
اَلْاَمْرُ بِالشَّىْءِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Menyuruh melakukan sesuatu berarti menyuruh segenap jalan-jalannya”
Contohnya: bila seseorang disuruh mengerjakan sembahyang berarti disuruh
pula dengan segala syarat-syaratnya sembahyang, seperti wudhu.
f.) Amar yang menunjukkan pada larangan
اَلْاَمْرُبِالشَّىْءِ نَهْيُ عَنْ ضِدِّهِ
“Menyuruh dengan sesuatu melarang dari lawannya”
Contohnya: bila seseorang disuruh mengerjakan suatu perbuatan, mesti dia
meninggalkan segala lawannya, seperti disuruh beriman, berarti dia tidak boleh
kafir.
g.) Amar menurut masanya
اذَا فُعِلَ اْلمَأْمُوْرُبِهِ عَلَى وَجْهِهِ يَخْرُجُ اْلمَأْمُوْرُعَنْ عَهْدَةِ اْلاَمْرِ
“Apabila dikerjakan yang diperintahkan itu menurut caranya, terlepas dia
dari masa perintah itu”
Contohnya: seorang musafir yang tidak memperoleh air hendaknya
diamengerjakan sembahyang dengan bertayammum sebagai ganti dari wudhu. (Q.S.
An-Nisa’:43)
43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301],
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
[301] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini
termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
h.) Qadha dengan perintah baru
اَلْقَضَاءُ بِاَمْرٍجَدِيْدٍ
“Qadha dengan perintah baru”
Contohnya: Seorang wanita dalam keadaan haidh boleh meninggalkan puasa
dibulan Ramadhan, tetapi wajib mengqadhanya (membayarkan) pada bulan
berikutnya.
Pengertian
nahi
Kata nahi
secara etimologi nahi artinya larangan, cegahan.
Kata nahi
secara terminologi artinya tuntutan meninggalkan dari atasan kepada bawahan.
Hakikat Bentuk Nahi
1) Nahi
menunjukkan kepada haram
اَلْاَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
“Asal pada larangan untuk haram”
Contohnya: seperti firman Allah SWT:
وَلَاتَقْرَبُوا الزِّنَى
“Dan janganlah kamu dekati zina”.
2) Nahi
menunjukkan larangan sesuatu, suruhan bagi bawahannya
اَلنَّهْيُ عَنِ الشَّىْءِ اَمْرٌ بِضِدِّهِ
“Dilarang dari sesuatu, disuruh dengan lawannya”
Contohnya: dilarang meninggalkan sembahyang, tentu disuruh mengerjakannya.
3) Nahi
menunjukkan larangan yang mutlak
اَلنَّهْيُ اْلُمطْلَقُ يَقْتَضِى الدَّوَامَ فِى جَمِيْعِ اْلاَزْمِنَةِ
“Larangan yang mutlak menghendaki berbekalan dalam sepanjang masa”
Contohnya: perkataan seorang bapak kepada anaknya ‘jangan kamu dekati
singa’, maka anak itu disuruh menjauhi binatang tersebut selama-lamanya karena
untuk melepaskan diri dari kebinasaan.
4) Nahi
menunjukkan larangan dalam beribadah
اَلنَّهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ اْلُمنْهِيِّ عَنْهُ فِى عِبَادَاتِ
“Larangan menunjukkan kebiasaan yang dilarang dalam beribadah”
Contohnya: wanita yang sedang haidh dilarang mengerjakan sembahyang dan
puasa, berarti dituntut untuk mengerjakannya apabila telah suci.
5) Nahi
menunjukkan larangan dalam mu’amalah
اَلنَّهْىُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ اْلُمنْهِيِّ عَنْهُ فِى اْلعُقُوْدِ
“Larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber’akad”
Contohnya: dilarang menjual anak hewan yang masih di dalam kandungan
ibunya, berarti akad jual beli tidak sah (batal), karena yang diperjualbelikan
itu belum jelas dan belum memenuhi rukun jual beli, antara lain: adanya dua
orang yang berakad (penjual & pembeli), sighat (lafadz) jual beli dan ada
barang yang diperjual belikan.
Rasulullah SAW bersabda:
نَهَى النَّبِيُّ ص.م. عَنْ بَيْعِ اْلَملَاقِيْحِ
“Melarang Nabi SAW memperjualbelikan anak dalam kandungan ibunya”.
Adakalanya larangan itu tidak membatalkan jula beli, seperti jual beli
waktu panggilan shalat Jum’at, karena melalaikan untuk besegera mengerjakan shalat
Jum’at. Firman Allah SWT:
اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ اْلجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا اْلبَيْعَ
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat Jum’at pada hari Jum’at,
hendaklah bersegera mengingat Allah (pergi shalat Jum’at) dan tinggalkan jual
beli”.
4. Jelaskan
pengertian kaidah ‘am dan khash ?
pengertian kaidah ‘am
Kata ‘Am ialah lafadz yang mengandung arti umum yang menunjukkan banyak
yang tak terbatas yang dapat meliputi (mengenai) semua yang pantas termasuk
dalam arti lafadz itu, sekaligus tercakup di dalamnya, dengan tak ada yang
ketinggalan.
Pembagian Lafadz ‘Am
Lafadz ‘Am dapat dibagi menjadi tiga macam, antara lain:
Lafadz umum yang tidak mungkin ditakhsiskan, seperti dalam firman Allah
surat Hud ayat 6:
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya,,,,”
Dan firman Allah surat Al-Anbiya ayat 30:
30. dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?
Kedua ayat diatas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap makhluk
karena itu dilalahnya qath’i yang tidak menerima takhsis.
Lafadz umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang
kekhususannya, seperti dalam firman Allah surat Al-Imron ayat 97:
97. padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan
perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Lafadz “manusia” dalam ayat diatas adalah lafadz umum yang dimaksudkan
adalah manusia yang mukallaf saja karena dengan perantara akal dapat
dikeluarkan dari keumuman lafadz seperti anak kecil dan orang gila.
Lafadz umum yang khusus seperti lafadz umum yang tidak ditemui tanda yang
menunjukkan ditakhsis seperti dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru’
Macam-Macam ‘Am
Umum Syumuliy yaitu lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku
bagi seluruh pribadi, seperti dalam firman Allah swt. ” (An-Nisa’: 1) :
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263]
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.
Dalam ayat diatas seluruh manusia dituntut untuk bertaqwa (memelihara diri
dari azab Allah) tanpa terkecuali.
Umum Badaliy yaitu suatu lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta
berlaku untuk sebagian pribadi, seperti firman Allah swt. (QS. Al-Baqarah :
183):
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”
Dalam ayat ini terdapat kaliamat umum, tetapi umum disini tidak
dipergunakan untuk seluruh manusia, melainkan hanya untuk orang-orang yang
percaya kepada Allah (beriman) saja.
pengertian kaidah khash
1)
Lafal khash ialah lafal yang dilalahnya berlaku bagi
seseorang yang namanya disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang
disebutkan jenisnya. Jadi lafal khash tidak mencakup semua namun hanya berlaku
untuk sebagian tertentu.
2) Lafal khash kadang berbentuk mutlak yakni tidak dikaitkan dengan
sesuatu, tetapi terkadang dikaitkan dengan sesuatu yang dinamakan muqoyyad,
dan terkadang dalam bentuk amr, dan terkadang dalam bentuk nahyi.
Jadi lafal khas ada 4 bentuk yaitu mutlak, muqayyad, amar dan nahyi.
3)
Lafal khas yang ditemui dalam nash yang wajib
diartikan sesuai dengan arti hakiki selama tidak ditemukan dalil yang
memalingkan dari arti hakiki ke arti lain.
Contohnya hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang menuduh berbuat zina
sebanyak delapan puluh kali dera, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.
Namun bila diteruskan dalil yang dapat memalingkan artinya ke arti lain
dilaksanakan sesuai dengan dilalahnya dari bukti itu seperti dalam hadist yang
berbicara setiap empat puluh ekor kambing dikeluarkan zakatnya seekor, setiap
orang mengeluarkan zakat fitrahnya satu sha’ gandum atau kurma. Karena
zakat untuk kepentingan fakir miskin, yang pada satu waktu barang lebih
bermanfaat dari uang dan pada satu waktu uang lebih bermanfaat dari barang.
Jadi berarti lafal yang mutlak dilaksanakan sesuai dengan artinya dan kalau
dikaitkan sesuai pula dengan kaitnya.
5. Jelaskan
pengertian kaidah mutlaq muqayyad ?
pengertian kaidah mutlaq
1) Kata mutlaq
secara bahasa, berarti “tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu”.
Kata mutlaq
secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang
memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang
kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat
sesuatu menurut apa adanya.
2) Sedangkan
Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan
suatu satuan dalam jenisnya. Dengan kata lain, lafal mutlak adalah lafal yang
menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu.
Misalnya,
rajulun (seorang laki-laki), rijalun (banyak laki-laki), kitabun (buku).
Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadalah, 58:3:
Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadalah, 58:3:
1. orang-orang
yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Pengertian kaidah muqayyad
Kata muqayyad
secara bahasa berarti “terikat”.
Kata
muqayyad secara istilah, adalah “lafal
yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat
tertentu”.
Misalnya,
ungkapan rajulun Iraki (seorang laki-laki asal Irak), hamba sahaya yang
beriman.
Contoh: firman
Allah surat al-Nisa’, 4:92:
92.Barangsiapa
membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman.
Kata raqabah
dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman).
Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara
tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah
memerdekan hamba yang tidak beriman.
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad,
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad,
bahwa mutlaq
menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan
tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat
dalam surat al-Mujadalah, 58:3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak
diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam
bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin.
Sementara
muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal,
yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas.
6. Jelaskan pengertian manthuq mafhum?
pengertian manthuq mafhum
Mantuq adalah
lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat),
Mafhum adalah
lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat).
Menurut kitab mabadiulawwaliyah,
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat
pengucapan,
Mafhum adalah
sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat
pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.
Seperti firman
Allah SWT. (Q.S Al-Isra’ ayat 23)
…ﻓﻼﺗﻘﻞﻟﻬﻤﺎﺍﻑﻭﻻﺗﻨﻬﺮﻫﻤﺎ…
…ﻓﻼﺗﻘﻞﻟﻬﻤﺎﺍﻑﻭﻻﺗﻨﻬﺮﻫﻤﺎ…
23. dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia[850].
[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan
oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih
kasar daripada itu.
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian
mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan
perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak
disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz
yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan
mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.
7. Jelaskan pengertian mujmal mubayyan ?
Pengertian mujmal
1)
Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع) mubham
(yang tidak diketahui) dan yang terkumpul. Pendapat yang lain mengatakan bahwa
Mujmal Bahasa berasal dari kata ( الجُمْلُ ) yang artinya rancau atau
bercampur aduk atau berarti global atau tidak terperinci.
2)
Secara istilah :
ما يتوقف فهم المراد منه على غيره، إما في تعيينه أو
بيان صفته أو مقداره
“Apa yang dimaksud darinya ditawaqqufkan terhadap yang selainnya, baik
dalam ta’yinnya (penentuannya) atau penjelasan sifatnya atau ukurannya.”
المُجْمَلُ هُوَ اَللَّفْظُ الَّذِى لاَيُفْهَمُ
المَعْنَى المُرَادُ مِنْهُ اِلاَ بِالاِسْتِفْسَارِ مِنَ الجُمَلِ
3)
Mujmal adalah lafadz yang belum jelas bias dipaham
makna yang dikehendaki kecuali jika ada keterangan lain yang menentukannya.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam ta’yinnya : Firman Allah ta’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’” (Al-Baqoroh : 228)
Quru’ (القرء) adalah
lafadz yang musytarok (memiliki beberapa makna,) antara haidh dan suci, maka
menta’yin salah satunya membutuhkan dalil.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan sifatnya: Firman Alloh
ta’ala :
وَأَقِيمُوا
الصَّلاة
“Dan
dirikanlah sholat” (Al-Baqoroh : 43)
Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui, membutuhkan penjelasan.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya : Firman Allah ta’ala :
Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui, membutuhkan penjelasan.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya : Firman Allah ta’ala :
وَآَتُوا
الزَّكَاةَ
“Dan
tunaikanlah zakat” (Al-Baqoroh : 43)
Ukuran zakat
yang wajib tidak diketahui maka membutuhkan penjelasan.
Pengertian mubayyan
1)
Mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yaitu :
المُبَيَّنُ هُوَ إِخْرَاجُ الشَّيْئِ مِنْ حَالِ
اِشْكَالِهِ وَعَدَمِ فَهْمِ مَعْنَاهُ اِلَى التَّجَلَّى وَهُوَ حَالٌ اِيْضَاحِ
مَعْنَاهُ وَفَهْمِهِ بِنَصِّ يَدُلُّ عَلَيْهِ
“mubayyan adalah mengeluarkan suatu lafadz dari kerancauan dan tidak adanya
arti yang dapat dipahami dengan menggunakan dalil-dalil yang bias menunjukkan
pada arti yang dikehendaki.”
Contoh ayat tentang “iddah wanita yang ditalak suaminya :
وَالمُطْلَقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
Dalam ayat ini ditemukan lafadz Quru’ yang artinya belum jelas, sebab
memiliki dua arti yaitu Haid (Datang Bulan), dan Tuhrun (Suci). Oleh karena itu
harus ada penjelas.
8. Jelaskan
pengertian zahir dan ta’wil ?
Pengertian
zahir
1) Kata Zhahir
secara etimologi berarti jelas.
Kata Zhahir
secara terminologinya yaitu setiap lafadz atau kalam yang memiliki makna
eksplisit terhadap obyek pembaca melalui konotasi bahasanya tanpa harus
menukilkan makna lafadz terhadap hal-hal skunder diluar maksud lafadz tersebut,
baik lafdz tersebut mengandung makna yang luas ataupun tidak.
2) Al-Bazdawi
memberikan definisi sebagi berikut :
اسم لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته
اسم لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته
Sesuatu nama
bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk
lafadz itu sendiri.
3) Sedangkan
menurut Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه السامع بنفس من غير تامل
ما يعرف المراد منه السامع بنفس من غير تامل
Sesuatu yang
dapat diketahui maksudnya dari pendengar itu sendiri tanpa harus difikirkan
lebih dahulu.
Dari definisi
tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami zhahir itu tidak bergantung pada
petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri.
Akan tetapi lafadz itu tetap mempunyai kemungkinan lain.
Pengertian
ta’wil
1) Kata ta’wil
secara etimologi, ta'wil berasal dari kata آلَ يَؤُوْلُ أَوْلٌ (الأَوْلُ) yang artinya
الرجوع
(kembali) dan العاقبة (akibat atau
pahala), seperti firman Allah dalam QS.
An-Nisa': 59 dan hadith من صام الدهر فلا صام ولا آل (Barang siapa
yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada
balasannya).
2) Sedangkan isim
makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل yang berarti المرجع tempat
kembali, seperti dalam QS. Al-Kahfi: 58. Ada juga yang mengatakan bahwa kata
" أَوَّلَ " yang
berarti الرجوع إليه و يعتمد عليه (kembali dan
bersandar kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut,
seperti dalam firman Allah QS. At-Taubah:108 dan Al-An'am: 163. Kata أَوَّلَ digunakan
karena sesudahnya kembali dan bersandar kepadanya.
3) Kata ta’wil
terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian ta'wil secara
istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari
tafsir. Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.
4) Al-Jurjani
dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil
secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan
lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di
dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".
5) Ibnu Al-Jawzi
dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah mengatakan bahwa, "Ta'wil
adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih)
kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya
(makna rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah).
Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta'wil.
Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta'wil yang shahih,
sedangkan tanpa dalil adalah ta'wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.
9. Jelaskan
pengertian kaidah nasikh dan mansukh
?
pengertian kaidah nasikh dan mansukh
Nasikh-Mansukh berasal dari kata nasakh.
1) Kata Nasikh
secara etimologi, berarti “menghilangkan, melenyapkan, atau menghapus, dapat
juga berarti memindahkan (memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat
lain).”
2) Kata nasakh
dapat juga berarti “mengganti atau menukar, membatalkan dan mengubah, dapat
juga berarti pengalihan.”
3) Jadi sesuatu
yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya dinamakan nasikh.
Sedangkan bagian yang dihapus dinamakan mansukh. Singkatnya dalam Al Qur’an dan
Tafsirnya disebutkan nasikh ialah ayat yang menasakh dan mansukh ialah ayat
yang dinasakh. Dalam Al Qur’an, kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali
dengan berbagai bentuknya.[9] Yaitu dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat
106, Surah A1-A’raf ayat 154, Surah A1-Hajj ayat 52, dan Surah Al Jatsiah ayat
29.
4)
Kata nasakh secara terminology menurut para ulama yang
datang kemudian (muta’akhirin) nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah
yang ditetapkan terakhir. Sedang mansukh menurut Syaikh Manna’ adalah” hukum
yang diangkat atau yang dihapuskan” Dalam buku Al Qur’an dan Tafsirnya
Departemen Agama RI disebutkan bahwa” Nasakh dalam arti istilah adalah
mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah
dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang
telah dihapus.
Adapun syarat-syarat
nasakh adalah :
a. Hukum yang mansukh adalah
hukum syara’
b. Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari
khitab yang hukumnya mansukh
c. Khitab
yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat(dibatasi) dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut. Yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Tunjukkan contoh penggunaan kaidah amar dan nahi ?
Contoh penggunaan kaidah amar dan nahi
Para Ulama Ushul menetapkan sejumlah kaidah yang berhubungan dengan amr:
1) Suatu
perintah selalu menunjukkan pada hukum wajib kecuali ada indikasi atau dalil
yang memalingkannya dari hukum tersebut. Pemahaman isi disepakati para ahli
bahasa. Misalnya perintah yang menunjukkan untuk wajib adalah perintah
melaksanakan shalat lima waktu yang terdapat dalam surat al-isra’, 17:78:
Dirikanlah shalat karena tergelincirnya matahari.
Contoh perintah yang disertai indikasi yang memalingkan dari hukum wajib
kepada hukum lain, yaitu sunat adalah firman Allah surat al-Baqarah ayat 282,
Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman yang melakukan transaksi secara
utang-piutang untuk waktu-waktu yang ditentukan hendaklah mereka mancatatnya.
Perintah ini semula mengandung hukum wajib, tetapi karena ada indikasi lain
yang memalingkannya, maka hukum wajib berubah menjadi sunat. Indikasi itu
terdapat dalam pada surat al-baqarah 2:228. Dalam ayat ini dijelaskan apabila
orang yang berutang –piutang saling mempercayai, tidak perlu mencatat
utang-piutang tersebut. Dengan demikian , perintah mencatat hutang piutang
hukumnya sunat, bukan wajib.
Contoh penggunaan kaidah amar dan nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti
disebutkan oleh Muhammad Khudhari Bik Allah juga memakai beragam gaya bahasa
diantaranya:
1) Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau
yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat
An-Nahl ayat 90 :
“Dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
2) Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan,
misalnya ayat 33 surat Al-A’raf :
“Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar”.
11. Jelaskan pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah ‘am
dan khash?
Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah ‘am
‘Am ialah lafadz yang mengandung arti
umum yang menunjukkan banyak yang tak terbatas yang dapat meliputi (mengenai)
semua yang pantas termasuk dalam arti lafadz itu, sekaligus tercakup di
dalamnya, dengan tak ada yang ketinggalan
Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah khash
Lafal khash ialah lafal yang
dilalahnya berlaku bagi seseorang yang namanya disebutkan seperti Muhammad atau
seseorang yang disebutkan jenisnya. Jadi lafal khash tidak mencakup semua namun
hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Tunjukkan
contoh penggunaan kaidah muthlaq muqayyad dalam ibadah ?
contoh penggunaan kaidah muthlaq dalam
ibadah
Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat
diamati dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadalah,
58:3:
3. orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Ayat ini menjelaskan tentang
kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan
memerdekannya budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka merdekakanlah
seorang budak” Mengingat lafal raqabah (budak) merupakan lafal mutlaq, maka
perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi
pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin
atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat
di atas merupakan bentuk nakirah dalam konteks positif.
contoh penggunaan kaidah muqayyad
dalam ibadah
Contoh: firman Allah surat al-Nisa’,
4:92:
92. ..... dan
Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman ..........
Kata raqabah
dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman).
Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara
tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan
hamba yang tidak beriman.
Jelaskan pengertian hukum yang
dihasilkan dari kaidah manthuq mafhum?
Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah manthuq mafhum
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna
tersurat),
Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq
(makna tersirat).
Menurut kitab
mabadiulawwaliyah,
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat
pengucapan,
Mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat
pengucapan.
Jelaskan pengertian hukum yang
dihasilkan dari kaidah mujmal mubayyan?
Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah mujmal
Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع) mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul. Pendapat
yang lain mengatakan bahwa Mujmal Bahasa berasal dari kata ( الجُمْلُ ) yang
artinya rancau atau bercampur aduk atau berarti global atau tidak terperinci.
Secara istilah
:
ما
يتوقف فهم المراد منه على غيره، إما في تعيينه أو بيان صفته أو مقداره
“Apa yang dimaksud darinya ditawaqqufkan terhadap yang selainnya, baik
dalam ta’yinnya (penentuannya) atau penjelasan sifatnya atau ukurannya.”
المُجْمَلُ هُوَ اَللَّفْظُ
الَّذِى لاَيُفْهَمُ المَعْنَى المُرَادُ مِنْهُ اِلاَ بِالاِسْتِفْسَارِ مِنَ الجُمَلِ
Mujmal adalah lafadz yang belum jelas bias dipaham makna yang dikehendaki
kecuali jika ada keterangan lain yang menentukannya. Contoh yang membutuhkan
dalil lain dalam ta’yinnya : Firman Allah ta’ala :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’” (Al-Baqoroh : 228)
Quru’ (القرء) adalah lafadz yang musytarok (memiliki beberapa makna,) antara
haidh dan suci, maka menta’yin salah satunya membutuhkan dalil.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan sifatnya: Firman Alloh
ta’ala :
وَأَقِيمُوا
الصَّلاة
“Dan
dirikanlah sholat” (Al-Baqoroh : 43)
Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui, membutuhkan penjelasan.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya : Firman Allah ta’ala :
Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui, membutuhkan penjelasan.
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya : Firman Allah ta’ala :
وَآَتُوا
الزَّكَاةَ
“Dan
tunaikanlah zakat” (Al-Baqoroh : 43)
Ukuran zakat
yang wajib tidak diketahui maka membutuhkan penjelasan.
Pengertian hukum yang dihasilkan dari kaidah mubayyan
Mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yaitu :
المُبَيَّنُ
هُوَ إِخْرَاجُ الشَّيْئِ مِنْ حَالِ اِشْكَالِهِ وَعَدَمِ فَهْمِ مَعْنَاهُ اِلَى
التَّجَلَّى وَهُوَ حَالٌ اِيْضَاحِ مَعْنَاهُ وَفَهْمِهِ بِنَصِّ يَدُلُّ
عَلَيْهِ
“mubayyan adalah mengeluarkan suatu lafadz dari kerancauan dan tidak adanya
arti yang dapat dipahami dengan menggunakan dalil-dalil yang bias menunjukkan
pada arti yang dikehendaki.”
Contoh ayat
tentang “iddah wanita yang ditalak suaminya :
وَالمُطْلَقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ
ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
Dalam ayat ini
ditemukan lafadz Quru’ yang artinya belum jelas, sebab memiliki dua arti yaitu
Haid (Datang Bulan), dan Tuhrun (Suci). Oleh karena itu harus ada penjelas.
12. Tunjukkan
contoh penggunaan kaidah zahir dan ta’wil ?
Contoh penggunaan kaidah zahir
Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa :
Zhahir itu adalah Suatu lafadz yang menunjukan suatu makna
dengan rumusan lafaz itu sendiri tanpa menunggu qorinah yang ada diluar lafadz
itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinaskhkan.
Contoh yang dapat dikemukakan ( Q.S. al-Baqarah (2) : 275 ) :
Contoh yang dapat dikemukakan ( Q.S. al-Baqarah (2) : 275 ) :
275. .......... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. .........
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya
jual beli dan haramya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafadz itu sendiri
tanpa memerlukan qorinah lain. Masing-masing dari lafadz bai’ dan riba
merupakan lafadz ‘am yang mempunyai kemungkinan di takhsis.
Contoh
penggunaan kaidah ta’wil
Kata ta'wil dalam Al-Qur'an
disebutkan sebanyak 17 kali. Dari penggunaan kata ta'wil dalam ayat-ayat
tersebut, dapat klasifikasikan menjadi tiga macam pengertian;
Ta'wil li al-qaul (ta'wil perkataan)
Berarti makna sebuah perkataan dan
hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan terbagi menjadi dua;
yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari insya' adalah amr
(perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua
pengertian;
1) Ta'wil Amr yaitu dengan mengerjakan apa yang
diperintahkan, contohnya hadith riwayat Aisyah Radhiyallah 'anha seperti
yang telah disebutkan di atas.
2) Ta'wil Ikhbar yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang
dikabarkan, seperti firman Allah QS. Al-A'raf : 53.
53. Tiadalah
mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. pada
hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang
melupakannya[547] sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul
Tuhan Kami membawa yang hak, Maka Adakah bagi Kami pemberi syafa'at yang akan
memberi syafa'at bagi Kami, atau dapatkah Kami dikembalikan (ke dunia) sehingga
Kami dapat beramal yang lain dari yang pernah Kami amalkan?". sungguh
mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka
tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.
Allah mengabarkan akan datangnya
hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil (terjadinya) yang
dikabarkan Al-Qur'an.
Ta'wil li al-fi'l (ta'wil
perbuatan)
Seperti apa yang dikatakan oleh sahabat
Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi perahu tanpa seizin
pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali bangunan roboh, dalam
QS. Al-Kahfi: 82
82. Adapun dinding rumah adalah
kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda
simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka
Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi)
Ta'wil li ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadith (ta'wil
mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub kepada putranya Nabi Yusuf 'Alaihimassalam
dalam QS. Yusuf : 6
6. dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk
menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan
disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana
Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu[743] sebelum itu,
(yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
dan sebaliknya pada ayat: 100.
100. dan ia
menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya)
merebahkan diri seraya sujud[763] kepada Yusuf. dan berkata Yusuf: "Wahai
ayahku Inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku telah
menjadikannya suatu kenyataan. dan Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik
kepadaKu, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu
dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan
saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha lembut terhadap apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
13. Jelaskan pengertian hukum yang
dihasilkan dari kaidah nasikh dan mansukh ?
pengertian hukum yang dihasilkan
dari kaidah nasikh dan mansukh
1) Nasikh-Mansukh berasal dari kata nasakh.
2) Kata Nasikh secara etimologi, berarti “menghilangkan,
melenyapkan, atau menghapus, dapat juga berarti memindahkan (memindahkan
sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain).”
3) Kata nasakh dapat juga berarti “mengganti atau menukar,
membatalkan dan mengubah, dapat juga berarti pengalihan.”
Jadi sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan
sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang dihapus dinamakan mansukh.
Singkatnya dalam Al Qur’an dan Tafsirnya disebutkan nasikh ialah ayat yang
menasakh dan mansukh ialah ayat yang dinasakh. Dalam Al Qur’an, kata nasakh
ditemukan sebanyak empat kali dengan berbagai bentuknya.[9] Yaitu dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat 106, Surah
A1-A’raf ayat 154, Surah A1-Hajj ayat 52, dan Surah Al Jatsiah ayat 29.
4)
Kata nasakh
secara terminology menurut para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin)
nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu,
sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir. Sedang
mansukh menurut Syaikh Manna’ adalah” hukum yang diangkat atau yang dihapuskan”
Dalam buku Al Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama RI disebutkan bahwa” Nasakh
dalam arti istilah adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan
dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan mansukh
ialah hukum syara’ yang telah dihapus.
Umumnya para ulama membagi nasakh
menjadi empat bagian, yaitu nasakh sunnah dengan sunnah, nasakh sunnah dengan
Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, dan nasakh Al Qur’an dengan
sunnah.berikut penjelasannya seperti terdapat dalam Al Qur’an dan tafsirnya.
Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya
sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan dalil syara’ dari sunnah juga.
Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi boleh. Hadisnya
seperti yang diriwayatkan At Tirmidzi” Dahulu aku melarang kamu berziarah
kubur, sekarang berziarahlah”.(Riwayat At Tirmidzi). Dalam hal nasakh sunnah dengan
sunnah ini Manna’Khalil Al Qattan mengkategorikan ke dalam empat bentuk,
yaitu(1). nasakh mutawatir dengan mutawatir.(2) nasakh ahad dengan ahad.(3)
ahad dengan mutawatir.(4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama
dibolehkan, sedang bentuk keempat terjadi silang pendapat. Namun jumhur
ulama tidak membolehkan.
Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan
dengan dalil sunnah kemudian dinasakh dengan dalil Al Qur’an. Seperti shalat
yang semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap Ka’bah di
Masjidil Haram setelah turun ayat Al Qur’an surah Al Baqarah/2 ayat 144:
144. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah
ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada,
Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Contoh lain tentang kewajiban
berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 Muharram menjadi tidak wajib, tetapi
sunnah saja setelah turun ayat kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan, yaitu
turunnya surah Al Baqarah/2 ayat 185:
“Bulan Ramadhan adalah(bulan) yang
di dalamnya diturunkan Al Qur’an, sebagai petujuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan
yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka
berpuasalah.”(Al Baqarah/2:185)
Namun nasakh seperti itu pun ditolak
oleh Syafi’i sebagaimana dikutip Syaikh Manna’ dari Al Itqan, menurut Syafi’I;
apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al Qur’an, dan apa saja
yang ditetapkan Al Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut
beliau antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak
bertentangan.
Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan
dalil ayat Al Qur’an kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al Qur’an pula.
Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka yang
berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an,
berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut para ulama yang menerima adanya
nasikh mansukh dalam Al Qur’an ini, bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al
Qur’an dapat diterima akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan
Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan
kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah orang-orang
Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang
tidak ringan lagi.
Hal tersebut termasuk kebijakan
Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui. Tetapi sebagian ulama lain
berpendapat bahwa tidak ada nasikh mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an. Menurut
ulama-ulama ini Al Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu,
tetapi semua ayat al Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal
tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Fussilat/41
ayat 42. Yang artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari
depan maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji”.
Karena tidak ada satu ayat pun yang
batil baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al Qur’an yang
dinasakh maupun mansukh. Ayat-ayat Al Qur’an memang telah menasakh
ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil.
Pendapat demikian misalnya dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani, seorang
mufassir yang menulis kitab Jami’ut Ta’wil. Beberapa mufassir lain juga
berpendapat demikian bahwa sesama Al Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.
Nasakh Al Qur’an dengan sunnah
Hukum yang didasarkan pada dalil
ayat Al Qur’an dinasakh dengan dalil sunnah.
Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
1)
Nasakh Al
Qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Qur’an tidak
boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Al Qur’an adalah mutawatir dan
menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak
sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang
maznun(diduga)
2)
Nasakh Al
Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh
Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya
adalah wahyu.Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-4.
Artinya”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan(kepadanya)”. Serta
Surah An Nahl ayat 44. Artinya “Dan kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. Dan
nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar